Oleh: Ilhamsyah Muhammad Nurdin
✍️ Masyarakat Padepokan Ujung Pasir, NTT
Sinar5news.com – Di tengah riuhnya perhelatan Piala Soeratin U-15 di Yogyakarta, kisah menyedihkan datang dari utusan Provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni tim Persebata Lembata. Mereka berjuang mewakili daerah, bukan hanya melawan lawan di lapangan, tetapi juga melawan ketidakpedulian pengurus Asprov PSSI NTT dan Pemerintah Provinsi. Jika anda mencari definisi pengabaian, mungkin ini adalah contoh sempurnanya.
Dana dari mana, dukungan dari Siapa?
Ketika bicara tentang sepak bola, semua pihak akan dengan lantang berseru bahwa olahraga ini adalah kebanggaan bangsa. Namun, bagaimana mungkin kebanggaan itu bisa dibangun jika institusi yang semestinya menjadi garda depan justru diam membisu? Mari kita ulas fakta sederhana: sumber dana untuk perjalanan tim Persebata ke Yogyakarta sebagian besar berasal dari donatur lokal seperti Kaya Tene Grup, pemilik SPBU Lamahora, dan individu-individu berhati besar yang peduli terhadap sepak bola Lembata.
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi dan Asprov PSSI NTT? Nihil. Tidak ada pelepasan seremonial, tidak ada dukungan moral, apalagi finansial. Apakah anggaran mereka habis untuk sekadar rapat tanpa hasil atau perjalanan dinas tanpa tujuan? Pertanyaan ini layak diajukan mengingat PSSI pusat telah meningkatkan dana tahunan untuk setiap Asprov menjadi Rp. 500 juta. Angka yang seharusnya cukup untuk mendukung tim muda seperti Persebata. Lalu, ke mana uang ini menghilang?
Skandal atau ketidakmampuan?
Menurut berita yang dimuat oleh Antara News, PSSI pusat mengalokasikan dana Rp. 500 juta untuk setiap Asprov, termasuk NTT. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Tim yang mewakili NTT di kompetisi nasional ini tidak menerima dukungan sepeser pun dari Asprov. Apakah ini masalah salah kelola, ketidakmampuan, atau justru ada agenda tersembunyi yang lebih gelap?
Sudah saatnya pihak berwenang, baik itu PSSI pusat maupun aparat hukum, turun tangan untuk memeriksa aliran dana ini. Transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati. Jika tidak, jangan salahkan publik jika mulai mengasosiasikan Asprov dengan korupsi dan pengkhianatan terhadap generasi muda.
Menang dengan keterbatasan, kalah dengan kebanggaan.
Di lapangan, Persebata memang tidak mampu melaju jauh. Mereka kalah 2-1 dari Riau, dipermalukan 6-1 oleh DKI Jakarta, dan akhirnya bermain imbang 2-2 melawan Sulawesi Barat. Namun, mari kita beri kredit di mana itu layak: tim ini bermain dengan semangat yang luar biasa meski dibayangi ketidakadilan. Hasil pertandingan ini tidak hanya mencerminkan kemampuan mereka, tetapi juga kondisi memilukan sepak bola di NTT.
Tanpa dukungan finansial yang memadai, bagaimana mungkin mereka bersaing dengan daerah lain yang memiliki fasilitas dan persiapan jauh lebih baik? Anak-anak ini bermain bukan hanya melawan tim lawan, tetapi juga melawan rasa kecewa terhadap pengurus yang seharusnya menjadi penyokong utama mereka.
Ironi Piala Soeratin: Dari prestasi menuju prestise kosong.
Piala Soeratin seharusnya menjadi ajang bagi bakat muda untuk bersinar dan membawa kebanggaan bagi daerah mereka. Namun, bagi NTT, ajang ini justru menjadi cermin buruk pengelolaan sepak bola di tingkat provinsi. Ketika daerah lain bersorak merayakan kemenangan, kita justru sibuk bertanya: “Di mana peran Asprov PSSI NTT?”
Apakah pengurus Asprov terlalu sibuk dengan urusan pribadi hingga melupakan tugas utama mereka? Ataukah mereka sekadar tidak peduli? Jawaban ini mungkin tidak akan pernah kita dapatkan kecuali ada tekanan dari publik dan media untuk mengusut tuntas masalah ini.
Belajar dari Kaya Tene Grup.
Jika pengurus Asprov merasa bingung tentang bagaimana cara mendukung tim, mereka sebaiknya belajar dari Kaya Tene Grup. Tanpa embel-embel jabatan atau kewajiban formal, perusahaan ini menunjukkan bahwa kepedulian bisa diwujudkan dengan tindakan nyata. Bandingkan dengan Asprov PSSI NTT yang memiliki anggaran dan wewenang, tetapi justru tidak memberikan apa-apa.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: untuk apa ada Asprov jika keberadaannya tidak memberikan manfaat bagi atlet muda? Jika tugas utama Anda hanyalah menikmati fasilitas tanpa memberikan kontribusi, maka lebih baik mundur saja.
Seruan kepada Pemerintah.
Pemerintah Provinsi NTT juga tidak luput dari kritik. Ketika berbicara tentang membangun generasi muda, mereka selalu menjanjikan dukungan penuh. Namun, pada kenyataannya, janji tinggal janji. Apakah mereka menganggap sepak bola tidak penting? Jika demikian, sebaiknya mereka secara terbuka mengakui itu sehingga masyarakat tidak lagi menaruh harapan.
Apa yang harus dilakukan?
Pertama, audit menyeluruh terhadap anggaran Asprov PSSI NTT harus segera dilakukan. Publik berhak tahu ke mana uang Rp. 500 juta itu digunakan.
Kedua, pengurus Asprov yang terbukti lalai harus segera dicopot dan digantikan dengan individu yang benar-benar peduli terhadap perkembangan sepak bola.
Ketiga, Pemerintah provinsi harus mengambil langkah konkret untuk mendukung tim muda, bukan hanya dengan kata-kata kosong tetapi dengan tindakan nyata.
Sepak bola sebagai cermin moralitas.
Kasus ini bukan hanya tentang sepak bola. Ini adalah refleksi dari moralitas kita sebagai bangsa. Jika kita membiarkan generasi muda berjuang sendirian tanpa dukungan, maka kita telah gagal sebagai masyarakat. Asprov PSSI NTT dan pemerintah provinsi harus segera berubah. Jika tidak, sejarah akan mencatat mereka sebagai pengkhianat cita-cita olahraga dan masa depan anak-anak NTT.